Walau hati disakiti hingga sering menangisi namun kemaafan perlu diberi...
Salah satu karakteristik takwa adalah sifat pemaaf, yaitu memaafkan orang lain, bukan meminta maaf. Firman-Nya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran/3: 133-134).
Jika dibandingkan antara memaafkan dengan meminta maaf, tentu jauh lebih sulit memaafkan. Namun, tidak sedikit di antara kita yang lebih menuntut orang lain meminta maaf, bahkan jika perlu minta maaf secara terbuka kepada publik. Padahal meminta maaf merupakan sikap yang sangat wajar dilakukan oleh orang yang telah melakukan kesalahan. Sementara memaafkan merupakan sikap yang amat sulit dilakukan, terlebih kepada orang yang jelas melakukan penganiayaan dan ada kesempatan untuk membalasnya melalui hukum atau cara lainnya.
Dalam hukum Islam, dikenal istilah qishas, artinya mengambil pembalasan yang sama. Namun al-Qur’an tetap menuntut kita untuk memaafkan sehingga ampunan dan rahmat Allah senantiasa dilimpahkan (Qs. Al-Baqarah/2 : 178 dan Al-Ma’idah/5: 45). Dalam Q.S. Asy-Syura: 40 Allah juga berfirman: “…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.”
Selain adanya peluang untuk membalas orang yang telah melakukan kezhaliman, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis juga menjelaskan bahwa salah satu di antara doa yang mudah dikabulkan oleh Allah adalah doa orang yang dizalimi. Akan tetapi di hadis yang lain, Nabi malah menegaskan bahwa salah satu akhlak yang paling terpuji adalah memaafkan orang yang telah menzhalimi (wa ta’fu ‘ amman zhalamaka). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mahu memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Dengan demikian, sikap memaafkan akan terasa sulit mengingat adanya peluang diberikan dalam Islam untuk “membalas” perbuatan orang yang bersalah. Akan tetapi, dengan kesulitan ini, balasan yang diberikan Allah kepada orang yang mampu melakukannya tentu jauh lebih mulia dan berharga, salah satu di antaranya adalah mengantarkan seseorang kepada derajat taqwa sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Meskipun sikap memaafkan terasa sulit, tetapi tidak pula mustahil dilakukan. Memaafkan sesama manusia justeru akan terasa mudah dilakukan dengan kesedaran iman dan memahami hakikat manusia yang sesungguhnya.
Dengan iman yang benar, seseorang akan mengenal Allah dengan sifat dan nama-nama-Nya yang indah lagi mulia. Salah satu di antara nama-Nya dalam asma’ul husna adalah “al-‘Afuwwu”, artinya Maha Pemaaf. Sementara Nabi menuntun kita untuk meneladani nama-nama Allah tersebut sesuai dengan batas kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Jika Allah memaafkan para hamba-Nya yang kerap melakukan kesalahan, maka manusia pun seyogyanya ikhlas memaafkan sesamanya, meskipun ia tidak pernah menyatakan permintaan maaf.
Kemudian, sifat pemaaf juga akan terasa mudah dilakukan dengan memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Oleh karenanya manusia acap kali melakukan kesalahan. Mengenai hal ini, Rasul menegaskan bahwa “Setiap manusia itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” Jadi manusia yang baik bukanlah tidak pernah melakukan kesalahan, akan tetapi mereka yang bersalah dan bersegera bertaubat atas kesalahan yang dilakukan.
Kerena setiap manusia bersalah, maka orang yang merasa teraniaya pun sebenarnya pernah melakukan kesalahan. Dengan demikian, jika orang lain melakukan kesalahan kepada kita maka hendaklah kita mengingat kembali kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang lain. Lalu cuba rasakan bagaimana seandainya kesalahan kita tersebut tidak dimaafkan oleh orang lain?
Jika direnungkan, dalam kehidupan ini banyak hal yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat (causality), termasuk dalam interaksi sosial, seperti: orang yang baik akan mendapat pujian; orang yang berbuat jahat akan dibenci orang; orang yang mudah menghormati akan mudah pula dihormati orang lain. Hanya saja, sebab-akibat tersebut tidak harus bersifat kontan (cash), tetapi bisa berganti dengan yang lain. Dalam hal menolong, misalnya, Nabi SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong orang lain”. Hadis ini menunjukkan bahwa jika kita menolong orang, Allah akan membalas dengan pertolongan Allah. Pertolongan Allah itu bisa melalui berbagai hal, bisa jadi langsung dari orang yang pernah kita tolong, tetapi bisa pula dari orang lain yang malah tidak kita kenal.
Demikian pula dalam hal memaafkan. Ketika kita sanggup memaafkan orang lain dengan hati tulus, maka insya’ Allah kita akan memperoleh maaf dari orang lain pula atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Agaknya perlu kita merenungkan pernyataan ahli hikmah: “Ingatlah dua hal dan lupakan pula dua hal. Pertama, ingatlah kebaikan orang lain kepadamu dan lupakanlah kebaikanmu pada orang lain; kedua, ingatlah kesalahanmu kepada orang lain dan lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu.”
Jika saja kita memaafkan sesama manusia, maka ketenangan batin niscaya akan diperoleh. Sebab secara psikologis, orang yang tidak bisa memaafkan akan mengidap penyakit benci bahkan dendam. Sementara rasa benci dan dendam akan mengganggu kesehatan mental seseorang sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit kejiwaan bahkan bisa berpengaruh pula terhadap kesehatan fisik. Secara sosial, orang yang sulit memaafkan akan memperhambat terjalinnya persaudaraan yang erat menuju persatuan dan kesatuan masyarakat yang kuat.
Dengan demikian, sifat memaafkan juga bisa mempererat persaudaraan sehingga terwujud persatuan dan kekuatan umat. Hal ini pula yang pernah dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dalam penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah). Di saat Nabi bersama para sahabat berbondong-bondong memasuki kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala, orang-orang kafir Quraisy malah ketakutan karena menganggap Nabi datang membalas dendam. Namun, apa yang dilakukan oleh Nabi jauh dari dugaan mereka. Nabi malah memaafkan mereka sehingga mengetuk hati sebagian di antara mereka untuk memeluk ajaran Islam. Sejak peristiwa itu pula, Mekah dikuasai oleh umat Islam sehingga terpeliharalah Ka’bah dari pemberhalaan kaum Jahiliyah hingga saat ini.
Begitu besarnya manfaat sifat pemaaf, maka setiap muslim yang menginginkan kemuliaan dengan derajat taqwa mesti membiasakan diri untuk mudah memaafkan sesamanya. Baginya tidak ada kata “tiada maaf bagimu”. Ingatlah, orang yang sulit memaafkan tidak akan memperoleh kemuliaan justru malah ketidaktenangan karena diliputi rasa kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar dari rasa kesal dan sesal, dan yang terpenting menjadi aset untuk meraih kedudukan taqwa.